Lambang Kota Lamongan adalah Ikan
Bandeng dan Lele. Kenapa koq lambing kota kita tercinta ini koq ikan bandeng
dan lele ? kenapa koq tidak mujaher dan kutuk atau lainnya. Ternyata ada
sejarah yang menarik dibalik kedua ikan tersebut. Tapi disini saya akan
mengulah tentang lelenya dahulu. Ada yang bilang jika orang Lamongan asli tidak
boleh memakan ikan yang satu ini. Benar atau tidak anggaban tersebut, berikut
ceritanya.
Dahulu, ada seorang Nyi Lurah yang
meminjam piandel berupa keris kepada salah seorang waliullah/sunan (kemungkinan
Sunan Ampel) untuk mencegah ontran-ontran atau huru-hara sekaligus untuk
menjaga kewibawaannya di wilayahnya (sekitar wilayah Bojonegoro). Kanjeng Sunan
pun memberikan keris yang dimilikinya kepada Nyi Lurah dengan beberapa syarat.
Diantaranya adalah tidak boleh menggunakan keris tersebut untuk kekerasan
(menumpahkan darah) dan harus segera dikembalikan kepada Sunan tersebut secara
langsung setelah tujuh purnama (tujuh bulan).
Akhirnya Nyi Lurah berhasil
mewujudkan cita-cita dan harapannya itu. Namun setelah tujuh purnama terlewati,
Nyi Lurah belum juga mengembalikan keris kepada Kanjeng Sunan. Khawatir terjadi
penyalahgunaan pada pusakanya, Kanjeng Sunan kemudian mengutus salah seorang
muridnya untuk menemui Nyi Lurah dan mengambil kembali keris Kanjeng Sunan.
Sampai di tempat Nyi Lurah, murid
Kanjeng Sunan pun segera menemui Nyi Lurah. Saat murid tersebut menghadap dan
mengutarakan maksudnya untuk mengambil keris Kanjeng Sunan, Nyi Lurah
bersikeras tidak mau menyerahkan keris tersebut. Karena merasa tidak mendapat
sambutan yang baik atas niatnya, akhirnya sang murid berencana untuk diam-diam
mengambil keris pusaka di rumah Nyi Lurah.
Pada suatu malam, murid tersebut
memasuki rumah Nyi Lurah dan berhasil menggambil keris. Namun, Nyi Lurah telah
menyadari bahwa keris pusaka telah dicuri. Serta merta seluruh warga desa
berbondong-bondong mengejarnya. Kejar mengejar ini berlangsung sangat jauh
hingga mencapai daerah Lamongan. Pada saat di perbatasan daerah Babat-Pucuk,
murid tersebut merasa terpojok karena sebuah pohon asam besar menghalangi
jalannya. Dan ketika anak tombak dilemparkan kedadanya ternyata seekor kijang
lewat menyelamatkannya, hingga yang terkena tombak adalah kijang. Atas kejadian
tersebut, sang murid bersyukur kepada Allah dan berujar bahwa anak cucu dan
keturunannya kelak tidak boleh memakan daging kijang karena binatang tersebut telah
menyelamatkan nyawanya.
Sang murid terus melanjutkan
perjalannya ke arah Surabaya, sementara para penduduk tadi masih tetap
mengejarnya. Hingga dia terjebak pada sebuah jublangan/kolam yang di dalamnya
penuh dengan Ikan Lele yang memiliki pathil yang mematikan. Sementara, dari
kejauhan terlihat para penduduk yang semakin dekat menuju ke arahnya dan tidak
ada jalan lain selain menyeberangi kolam Lele di depannya. Namun dengan
keyakinan hati dan memohon perlindungan kepada Allah, akhirnya diapun menceburkan
diri ke dalam kolam penuh Ikan Lele. Ternyata tak satupun Ikan Lele
menyerangnya bahkan dengan tenang dia bisa menyelam dengan ikan-ikan lele
berkerumun di atasnya. Karena melihat banyak Ikan Lele berenang di atas kolam
maka penduduk menganggab bahwa si pencuri tersebut tidak mungkin bersembunyi di
kolam penuh Ikan Lele yang memiliki pathil yang sangat mematikan. Warga desa
yang mengejarnya itu pun mengalihkan pencariannya ke tempat lain. Setelah itu
menyembullah sang murid ke permukaan kolam. Dengan mengucap puji syukur kepada
Allah dan lagi-lagi dia berujar bahwa anak, cucu dan keturunannya kelak untuk
tidak memakan Ikan Lele, karena ikan tersebut telah menyelamatkan hidupnya.
Daerah tempat diucapkannya wasiat tersebut berada di sekitar daerah Glagah Lamongan.
Akhirnya, sang murid berhasil menyerahkan kembali pusakanya pada Kanjeng Sunan.
Beberapa cerita mengatakan bahwa
murid yang mencuri keris pusaka tersebut bernama Ronggohadi (saat ini menjadi
salah satu jalan di Kota Lamongan). Dia adalah orang yang kelak membabat alas
Lamongan dan menjadi bupati pertama Lamongan yang bergelar Bupati Surajaya.
Hingga saat ini, kebanyakan
masyarakat Lamongan di daerah Glagah, tengah kota, atau pesisir, sangat jarang
yang makan lele sebagai santapan lauk pauknya apalagi yang berdarah asli
Lamongan (ayah dan ibu asli Lamongan). Mereka khawatir kalau masih ada darah
keturunan sang murid Kenjeng Sunan dan takut melanggar sumpah. Meskipun pada
umumnya orang sekitar
Glagah, Deket dan sekitarnya di era
sekarang ini banyak yang beternak ikan lele, namun jarang sekali mereka yang
memakan ikan tersebut. Konon, jika ada anak keturunannya yang melanggar sumpah,
maka pigmen di area tangan atau tubuhnya akan memudar sehingga warna kulitnya
belang-belang hingga menyerupai tubuh Ikan Lele. Wa'allahualam. Namun hal ini
tidak berlaku bagi mereka yang mempunyai ayah dari luar Lamongan atau tinggal
jauh di wilayah Lamongan bagian selatan dan barat.
Makasih banyak:)
BalasHapus