LAMONGAN

Kabupaten Lamongan adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Lamongan. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Gresik di timur, Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang di selatan, serta Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban di barat.

KULINER LAMONGAN

Lamongan terkenal juga sebagai kota kuliner, kuliner di Lamongan selalu memanjakan lidah pengunjung. seperti Nasi boranan, wingko babat, tahu campur, soto dan lain sebagainya

KOTA LAMONGAN

Lamongan memiliki alun alun yang asri, karena keasriannya alun alun dijadikan tempat wisata bermain yang bagi warga lamongan

TARI

Tari tradisional Boranan adalah tari yang terinspirasi oleh aktivitas penjual nasi Boranan yang ada di Lamongan

WISATA LAMONGAN

Wisata Lamongan Jawa Timur termasuk lengkap dan menarik, karena punya keunggulan di empat kategori wisata, yaitu wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya dan wisata kuliner

Kamis, 21 Mei 2015

JANGAN HANYA BANGGA TAPI BUAT BANGGA

maaf untuk artikel ini masih dalam proses heeee...
maklum gi sibuk mendekati UAS, banyak sekali tugas dan ulangan. jadi kalo malam mau ngetik menuangkan semua yang ada dalam otak dalam bentuk karya tulis tidak ada waktu. apalagi tugas buat film pendek yang sampai saat ini masih belum selese-selese.

Senin, 18 Mei 2015

Refleksi HJL 446


Kabupaten Lamongan memasuki usia 446 tahun, usia yang bisa dikatakan sudah sangat matang. HJL 446 bisa kita jadikan sebagau momentum untuk menyegarkan kembali semangat kebersamaan dan semangat persatuan dalam bingkai pembangunan yang berkeadilan.
Para pendiri Lamongan di alam sana pasti akan tersenyum bahagia bisa kita sebagai generasi penerus masih mau mewarisi nilai nilai kebersamaan, kekeluargaan, persatuan, patriotisme, serta perjuangan yang tinggi. Sebab, hakikat dari nilai itu adalah kesadaran akan kolektivitas, kesadaran bahwa kita tak bisa maju, tanpa kebersamaan dan kerjasama. Apapun warna kita, persatuan harus kita pegang erat.
Dengan semangat kebersamaan, kita bersyukur dan bangga Kabupaten Lamongan terus mengalami kemajuan dari tahun ke tahun. Hingga di usia 446 tahun, sudah banyak prestasi yang sudah diraih, yang paling membanggakan Lamongan termasuk salah satu kabupaten kecil yang meraih predikat adipura kencana. Prestasi ini tidak terlepas dari kerjasama seluruh lapisan masyarakat Lamongan.
            Selain itu, di bidang pendidikan Lamongan telah mengalami peningkatan yang sangat pesat. Banyak prestasi yang telah ditorehkan oleh siswa-siswi Lamongan. Di sekolah saja saja yang tergolong pedesaan, telah meraih banyak prestasi tingkat nasional seperti juara 2 kategori kumpulan puisi sayembara penulisan buku pengalayaan pusat kurikulum dan perbukuaan kemendikbud, juara 3 kategori novel remaja  sayembara penulisan buku pengalayaan pusat kurikulum dan perbukuaan kemendikbud, juara 3 lomba cerpen CHC yang diajakan oleh Tupperware Indonesia (peserta dari lomba ini lebih dari 55 ribu peserta), juara 1 sayembara menulis kreatif BKKBN Jatim, juara 1 Indonesia Junior Writer dan masih banyak lagi. “Meski kita bekerja bukan untuk mengejar penghargaan, buah dari kerja keras kita itu mendapatkan penilaian positif dari berbagai pihak atas prestasi yang dicapai,”
            Dalam moment HJLke 446 ini, mari kita senantiasa meningkatkan prestasi Lamongan disegala bidang. Kita jangan sampai terlena dengan prestasi yang sudah diraih tapi mari terus kita pertahankan dan tingkatkan. SELAMAT HJL 466.

PAMERAN PENDIDIKAN HARDIKNAS 2015







Kamis, 14 Mei 2015

Tari Mayang Madu

Sahabat setia :-)
           kalau tari boranan mungkin sahabat sudah banyak tahu, tapi kalau tari mayang madu masih banyak yang belum mengenal karena tari ini belum sepopuler tari boran. disini saya akan sedikit mengenalkan salah satu tari khas Lamongan selain tari boran.
           Tari Mayang madu adalah sebuah penggambaran perjalanan Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Penyebarannya melalui kesenian, salah satunya dengan musik. Musik yang dipakai adalah Singo Mengkok. 
           Tari mayang Madu berasal dari daerah Lamongan. Tari ini biasa ditampilkan dalam bentuk tari tunggal, tari kelompok, maupun tari massal. Tari Mayang Madu mempunyai konsep islami dan tradisional, karena Tari Mayang Madu diilhami dari kegigihan syiar agama islam di Lamongan yang disebarkan oleh Sunan Drajat dengan cara menggunakan gamelan sebagai medianya. Gamelan Sunan Drajat terkenal dengan sebutan gamelan “Singo Mengkok”. Latar belakang Sunan Drajat menggunakan media seni karena pada saat itu masyarakat banyak yang masih memeluk agama Hindu, Budha dan pengaruh dari kerajaan Majapahit.
          Nama tari Mayang Madu diambil dari sejarahnya Raden Qosim yang memimpin dan memberi teladan yang baik untuk kehidupan di Desa Drajat Paciran. Lalu Sultan Demak ( Raden Patah ) memberi gelar kepada Raden Qosim yaitu “Sunan Mayang Madu” pada tahun 1484 Masehi. Untuk mengenag jasa perjuangan Sunan Mayang Madu ( Raden qosim ), maka tarian khas Lamongan disebut dengan Tari Mayang Madu, agar masyarakat Lamongan tergugah hatingya untuk tetap meneruskan perjuangan Sunan Mayang Madu dalam menyebarkan agama islam.
         



SEJARAH DUSUN BUNGUR


Desa Balun merupakan salah satu desa tua yang syarat dengan berbagai nilai sejarah, termasuk tentang penyebaran Islam oleh para santri murid Walisongo dan masih terkait dengan sejarah hari jadi Kota Lamongan. Di mana kata Balun berasal dari nama “Mbah Alun” seorang tokoh yang mengabdi dan berperan besar terhadap terbentuknya desa balun sejak tahun 1600-an.
Mbah Alun yang dikenal sebagai Sunan Tawang Alun I atau Mbah Sin Arih konon adalah Raja Blambangan bernama Bedande Sakte Bhreau Arih yang bergelar Raja Tawang Alun I yang lahir di Lumajang tahun 1574. Dia merupakan anak dari Minak Lumpat yang menurut buku babat sembar adalah keturunan Lembu Miruda dari Majapahit (Brawijaya). Mbah Alun belajar mengaji di bawah asuhan Sunan Giri IV (Sunan Prapen). Selesai mengaji dia kembali ke tempat asalnya untuk menyiarkan agama Islam sebelum diangkat menjadi Raja Blambangan.
Selama pemerintahannya (tahun 1633-1639) Blambangan mendapatkan serangan dari Mataram dan Belanda hingga kedaton Blambangan hancur. Saat itu Sunan tawang Alun melarikan diri ke arah barat menuju Brondong untuk mencari perlindungan dari anaknya yaitu Ki Lanang Dhangiran (Sunan Brondong), lalu diberi tempat di desa kuno bernama Candipari (kini menjadi desa Balun) untuk bersembunyi dari kejaran musuh. Disinilah Sunan Tawang Alun I mulai mengajar mengaji dan menyiarkan ajaran Islam sampai wafat Tahun 1654 berusia 80 tahun sebagai seorang Waliyullah.
Sebab menyembunyikan identitasnya sebagai Raja, maka dia dikenal sebagai seorang ulama dengan sebutan Raden Alun atau Sin Arih. Sunan Tawang Alun I sebagai ulama hasil gemblengan Pesantren Giri Kedaton ini menguasai ilmu Laduni, Fiqh, Tafsir, Syariat dan Tasawuf. Sehingga dalam dirinya dikenal tegas, kesatria, cerdas, Alim, Arif, persuatif, dan yang terkenal adalah sifat toleransinya terhadap orang lain, terhadap budaya lokal dan toleransinya terhadap agama lain.
Desa tempat makam Mbah Alun ini kemudian disebut Desa Mbah Alun dan kini Menjadi Desa Balun, Kecamatan Turi. Dan makamnya sampai sekarang masih banyak di ziarahi oleh orang-orang dari daerah lain, apalagi bila hari Jum’at kliwon banyak sekali rombongan-rombongan peziarah yang datang ke Desa Balun.
Pasca G 30S PKI tepatnya tahun 1967 Kristen dan Hindu mulai masuk dan berkembang di Desa Balun. Berawal dari adanya pembersihan pada orang-orang yang terlibat dengan PKI termasuk para pamong desa yang diduga terlibat. Akibatnya terjadi kekosongan kepala desa dan perangkatnya. Maka untuk menjaga dan menjalankan pemerintahan desa ditunjuklah seorang prajurit untuk menjadi pejabat sementara di desa Balun. Prajurit tersebut bernama Pak Batih yang beragama Kristen. Dari sinilah Kristen mulai dapat pengikut, kemudian pak Batih mengambil teman dan pendeta untuk membabtis para pemeluk baru. Karena sikap keterbukaan dan toleransi yang tinggi dalam masyarakat Balun maka penetrasi Kristen tidak menimbulkan gejolak. Di samping itu kristen tidak melakukan dakwa dengan ancaman atau kekerasan.
Pada tahun yang sama yakni 1967 juga masuk pembawa agama Hindu yang datang dari desa sebelah yaitu Plosowayuh. Adapun tokoh sesepuh Hindu adalah bapak Tahardono Sasmito. Agama hindu inipun tidak membawa gejolak pada masyarakat umumnya. Masuknya seseorang pada agama baru lebih pada awalnya lebih disebabkan oleh ketertarikan pribadi tanpa ada paksaan. Sebagai agama pendatang di desa Balun, Kristen dan Hindu berkembang secara perlahan-lahan. Mulai melakukan sembahyang di rumah tokoh-tokoh agama mereka, kemudian pertambahan pemeluk baru dan dengan semangat swadaya yang tinggi mulai membangun tempat ibadah sederhana dan setelah melewati tahap-tahap perkembangan sampai akhirnya berdirilah Gereja dan Pura yang megah.
Hal ini berarti kerudung dan kopyah lebih berarti sebagai simbol budaya yang diinterpretasikan menghormati pesta hajatan atau acara ngaturi.
Budaya selamatan juga masih banyak dilakukan oleh masyarakat Balun. Biasanya selamatan menyambut bulan Romadhon dan selamatan sebelum hari raya umat Islam. Bagi yang bukan agama Islam juga ikut mengadakan selamatan, hal ini lebih dimaksudkan atau dimaknai sebagai tindakan sosial dari pada tindakan religius sebab mereka bukan umat Islam. Mereka memaknai untuk merekatkan antar tetangga dan mengenai waktu mereka selaraskan dengan pilihan umat Islam. Selamatan untuk orang meninggal juga masih dilakukan sebagian besar masyarakat Balun, dan mengundang para tetangga dan kerabat termasuk mereka yang beragama Hindu dan Kristen. Bagi mereka memennuhi undangan adalah sesuatu yang penting karena disitu terdapat kontrol sosial yang ketat. Bagi mereka yang tidak datang harus pamitan sebelum atau sesudahnya.