LAMONGAN

Kabupaten Lamongan adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Lamongan. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Gresik di timur, Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang di selatan, serta Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban di barat.

KULINER LAMONGAN

Lamongan terkenal juga sebagai kota kuliner, kuliner di Lamongan selalu memanjakan lidah pengunjung. seperti Nasi boranan, wingko babat, tahu campur, soto dan lain sebagainya

KOTA LAMONGAN

Lamongan memiliki alun alun yang asri, karena keasriannya alun alun dijadikan tempat wisata bermain yang bagi warga lamongan

TARI

Tari tradisional Boranan adalah tari yang terinspirasi oleh aktivitas penjual nasi Boranan yang ada di Lamongan

WISATA LAMONGAN

Wisata Lamongan Jawa Timur termasuk lengkap dan menarik, karena punya keunggulan di empat kategori wisata, yaitu wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya dan wisata kuliner

Kamis, 21 Mei 2015

JANGAN HANYA BANGGA TAPI BUAT BANGGA

maaf untuk artikel ini masih dalam proses heeee...
maklum gi sibuk mendekati UAS, banyak sekali tugas dan ulangan. jadi kalo malam mau ngetik menuangkan semua yang ada dalam otak dalam bentuk karya tulis tidak ada waktu. apalagi tugas buat film pendek yang sampai saat ini masih belum selese-selese.

Senin, 18 Mei 2015

Refleksi HJL 446


Kabupaten Lamongan memasuki usia 446 tahun, usia yang bisa dikatakan sudah sangat matang. HJL 446 bisa kita jadikan sebagau momentum untuk menyegarkan kembali semangat kebersamaan dan semangat persatuan dalam bingkai pembangunan yang berkeadilan.
Para pendiri Lamongan di alam sana pasti akan tersenyum bahagia bisa kita sebagai generasi penerus masih mau mewarisi nilai nilai kebersamaan, kekeluargaan, persatuan, patriotisme, serta perjuangan yang tinggi. Sebab, hakikat dari nilai itu adalah kesadaran akan kolektivitas, kesadaran bahwa kita tak bisa maju, tanpa kebersamaan dan kerjasama. Apapun warna kita, persatuan harus kita pegang erat.
Dengan semangat kebersamaan, kita bersyukur dan bangga Kabupaten Lamongan terus mengalami kemajuan dari tahun ke tahun. Hingga di usia 446 tahun, sudah banyak prestasi yang sudah diraih, yang paling membanggakan Lamongan termasuk salah satu kabupaten kecil yang meraih predikat adipura kencana. Prestasi ini tidak terlepas dari kerjasama seluruh lapisan masyarakat Lamongan.
            Selain itu, di bidang pendidikan Lamongan telah mengalami peningkatan yang sangat pesat. Banyak prestasi yang telah ditorehkan oleh siswa-siswi Lamongan. Di sekolah saja saja yang tergolong pedesaan, telah meraih banyak prestasi tingkat nasional seperti juara 2 kategori kumpulan puisi sayembara penulisan buku pengalayaan pusat kurikulum dan perbukuaan kemendikbud, juara 3 kategori novel remaja  sayembara penulisan buku pengalayaan pusat kurikulum dan perbukuaan kemendikbud, juara 3 lomba cerpen CHC yang diajakan oleh Tupperware Indonesia (peserta dari lomba ini lebih dari 55 ribu peserta), juara 1 sayembara menulis kreatif BKKBN Jatim, juara 1 Indonesia Junior Writer dan masih banyak lagi. “Meski kita bekerja bukan untuk mengejar penghargaan, buah dari kerja keras kita itu mendapatkan penilaian positif dari berbagai pihak atas prestasi yang dicapai,”
            Dalam moment HJLke 446 ini, mari kita senantiasa meningkatkan prestasi Lamongan disegala bidang. Kita jangan sampai terlena dengan prestasi yang sudah diraih tapi mari terus kita pertahankan dan tingkatkan. SELAMAT HJL 466.

PAMERAN PENDIDIKAN HARDIKNAS 2015







Kamis, 14 Mei 2015

Tari Mayang Madu

Sahabat setia :-)
           kalau tari boranan mungkin sahabat sudah banyak tahu, tapi kalau tari mayang madu masih banyak yang belum mengenal karena tari ini belum sepopuler tari boran. disini saya akan sedikit mengenalkan salah satu tari khas Lamongan selain tari boran.
           Tari Mayang madu adalah sebuah penggambaran perjalanan Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Penyebarannya melalui kesenian, salah satunya dengan musik. Musik yang dipakai adalah Singo Mengkok. 
           Tari mayang Madu berasal dari daerah Lamongan. Tari ini biasa ditampilkan dalam bentuk tari tunggal, tari kelompok, maupun tari massal. Tari Mayang Madu mempunyai konsep islami dan tradisional, karena Tari Mayang Madu diilhami dari kegigihan syiar agama islam di Lamongan yang disebarkan oleh Sunan Drajat dengan cara menggunakan gamelan sebagai medianya. Gamelan Sunan Drajat terkenal dengan sebutan gamelan “Singo Mengkok”. Latar belakang Sunan Drajat menggunakan media seni karena pada saat itu masyarakat banyak yang masih memeluk agama Hindu, Budha dan pengaruh dari kerajaan Majapahit.
          Nama tari Mayang Madu diambil dari sejarahnya Raden Qosim yang memimpin dan memberi teladan yang baik untuk kehidupan di Desa Drajat Paciran. Lalu Sultan Demak ( Raden Patah ) memberi gelar kepada Raden Qosim yaitu “Sunan Mayang Madu” pada tahun 1484 Masehi. Untuk mengenag jasa perjuangan Sunan Mayang Madu ( Raden qosim ), maka tarian khas Lamongan disebut dengan Tari Mayang Madu, agar masyarakat Lamongan tergugah hatingya untuk tetap meneruskan perjuangan Sunan Mayang Madu dalam menyebarkan agama islam.
         



SEJARAH DUSUN BUNGUR


Desa Balun merupakan salah satu desa tua yang syarat dengan berbagai nilai sejarah, termasuk tentang penyebaran Islam oleh para santri murid Walisongo dan masih terkait dengan sejarah hari jadi Kota Lamongan. Di mana kata Balun berasal dari nama “Mbah Alun” seorang tokoh yang mengabdi dan berperan besar terhadap terbentuknya desa balun sejak tahun 1600-an.
Mbah Alun yang dikenal sebagai Sunan Tawang Alun I atau Mbah Sin Arih konon adalah Raja Blambangan bernama Bedande Sakte Bhreau Arih yang bergelar Raja Tawang Alun I yang lahir di Lumajang tahun 1574. Dia merupakan anak dari Minak Lumpat yang menurut buku babat sembar adalah keturunan Lembu Miruda dari Majapahit (Brawijaya). Mbah Alun belajar mengaji di bawah asuhan Sunan Giri IV (Sunan Prapen). Selesai mengaji dia kembali ke tempat asalnya untuk menyiarkan agama Islam sebelum diangkat menjadi Raja Blambangan.
Selama pemerintahannya (tahun 1633-1639) Blambangan mendapatkan serangan dari Mataram dan Belanda hingga kedaton Blambangan hancur. Saat itu Sunan tawang Alun melarikan diri ke arah barat menuju Brondong untuk mencari perlindungan dari anaknya yaitu Ki Lanang Dhangiran (Sunan Brondong), lalu diberi tempat di desa kuno bernama Candipari (kini menjadi desa Balun) untuk bersembunyi dari kejaran musuh. Disinilah Sunan Tawang Alun I mulai mengajar mengaji dan menyiarkan ajaran Islam sampai wafat Tahun 1654 berusia 80 tahun sebagai seorang Waliyullah.
Sebab menyembunyikan identitasnya sebagai Raja, maka dia dikenal sebagai seorang ulama dengan sebutan Raden Alun atau Sin Arih. Sunan Tawang Alun I sebagai ulama hasil gemblengan Pesantren Giri Kedaton ini menguasai ilmu Laduni, Fiqh, Tafsir, Syariat dan Tasawuf. Sehingga dalam dirinya dikenal tegas, kesatria, cerdas, Alim, Arif, persuatif, dan yang terkenal adalah sifat toleransinya terhadap orang lain, terhadap budaya lokal dan toleransinya terhadap agama lain.
Desa tempat makam Mbah Alun ini kemudian disebut Desa Mbah Alun dan kini Menjadi Desa Balun, Kecamatan Turi. Dan makamnya sampai sekarang masih banyak di ziarahi oleh orang-orang dari daerah lain, apalagi bila hari Jum’at kliwon banyak sekali rombongan-rombongan peziarah yang datang ke Desa Balun.
Pasca G 30S PKI tepatnya tahun 1967 Kristen dan Hindu mulai masuk dan berkembang di Desa Balun. Berawal dari adanya pembersihan pada orang-orang yang terlibat dengan PKI termasuk para pamong desa yang diduga terlibat. Akibatnya terjadi kekosongan kepala desa dan perangkatnya. Maka untuk menjaga dan menjalankan pemerintahan desa ditunjuklah seorang prajurit untuk menjadi pejabat sementara di desa Balun. Prajurit tersebut bernama Pak Batih yang beragama Kristen. Dari sinilah Kristen mulai dapat pengikut, kemudian pak Batih mengambil teman dan pendeta untuk membabtis para pemeluk baru. Karena sikap keterbukaan dan toleransi yang tinggi dalam masyarakat Balun maka penetrasi Kristen tidak menimbulkan gejolak. Di samping itu kristen tidak melakukan dakwa dengan ancaman atau kekerasan.
Pada tahun yang sama yakni 1967 juga masuk pembawa agama Hindu yang datang dari desa sebelah yaitu Plosowayuh. Adapun tokoh sesepuh Hindu adalah bapak Tahardono Sasmito. Agama hindu inipun tidak membawa gejolak pada masyarakat umumnya. Masuknya seseorang pada agama baru lebih pada awalnya lebih disebabkan oleh ketertarikan pribadi tanpa ada paksaan. Sebagai agama pendatang di desa Balun, Kristen dan Hindu berkembang secara perlahan-lahan. Mulai melakukan sembahyang di rumah tokoh-tokoh agama mereka, kemudian pertambahan pemeluk baru dan dengan semangat swadaya yang tinggi mulai membangun tempat ibadah sederhana dan setelah melewati tahap-tahap perkembangan sampai akhirnya berdirilah Gereja dan Pura yang megah.
Hal ini berarti kerudung dan kopyah lebih berarti sebagai simbol budaya yang diinterpretasikan menghormati pesta hajatan atau acara ngaturi.
Budaya selamatan juga masih banyak dilakukan oleh masyarakat Balun. Biasanya selamatan menyambut bulan Romadhon dan selamatan sebelum hari raya umat Islam. Bagi yang bukan agama Islam juga ikut mengadakan selamatan, hal ini lebih dimaksudkan atau dimaknai sebagai tindakan sosial dari pada tindakan religius sebab mereka bukan umat Islam. Mereka memaknai untuk merekatkan antar tetangga dan mengenai waktu mereka selaraskan dengan pilihan umat Islam. Selamatan untuk orang meninggal juga masih dilakukan sebagian besar masyarakat Balun, dan mengundang para tetangga dan kerabat termasuk mereka yang beragama Hindu dan Kristen. Bagi mereka memennuhi undangan adalah sesuatu yang penting karena disitu terdapat kontrol sosial yang ketat. Bagi mereka yang tidak datang harus pamitan sebelum atau sesudahnya.

Asal usul Desa Balun


Desa Balun merupakan salah satu desa tua yang syarat dengan berbagai nilai sejarah, termasuk tentang penyebaran Islam oleh para santri murid Walisongo dan masih terkait dengan sejarah hari jadi Kota Lamongan. Di mana kata Balun berasal dari nama “Mbah Alun” seorang tokoh yang mengabdi dan berperan besar terhadap terbentuknya desa balun sejak tahun 1600-an.
Mbah Alun yang dikenal sebagai Sunan Tawang Alun I atau Mbah Sin Arih konon adalah Raja Blambangan bernama Bedande Sakte Bhreau Arih yang bergelar Raja Tawang Alun I yang lahir di Lumajang tahun 1574. Dia merupakan anak dari Minak Lumpat yang menurut buku babat sembar adalah keturunan Lembu Miruda dari Majapahit (Brawijaya). Mbah Alun belajar mengaji di bawah asuhan Sunan Giri IV (Sunan Prapen). Selesai mengaji dia kembali ke tempat asalnya untuk menyiarkan agama Islam sebelum diangkat menjadi Raja Blambangan.
Selama pemerintahannya (tahun 1633-1639) Blambangan mendapatkan serangan dari Mataram dan Belanda hingga kedaton Blambangan hancur. Saat itu Sunan tawang Alun melarikan diri ke arah barat menuju Brondong untuk mencari perlindungan dari anaknya yaitu Ki Lanang Dhangiran (Sunan Brondong), lalu diberi tempat di desa kuno bernama Candipari (kini menjadi desa Balun) untuk bersembunyi dari kejaran musuh. Disinilah Sunan Tawang Alun I mulai mengajar mengaji dan menyiarkan ajaran Islam sampai wafat Tahun 1654 berusia 80 tahun sebagai seorang Waliyullah.
Sebab menyembunyikan identitasnya sebagai Raja, maka dia dikenal sebagai seorang ulama dengan sebutan Raden Alun atau Sin Arih. Sunan Tawang Alun I sebagai ulama hasil gemblengan Pesantren Giri Kedaton ini menguasai ilmu Laduni, Fiqh, Tafsir, Syariat dan Tasawuf. Sehingga dalam dirinya dikenal tegas, kesatria, cerdas, Alim, Arif, persuatif, dan yang terkenal adalah sifat toleransinya terhadap orang lain, terhadap budaya lokal dan toleransinya terhadap agama lain.
Desa tempat makam Mbah Alun ini kemudian disebut Desa Mbah Alun dan kini Menjadi Desa Balun, Kecamatan Turi. Dan makamnya sampai sekarang masih banyak di ziarahi oleh orang-orang dari daerah lain, apalagi bila hari Jum’at kliwon banyak sekali rombongan-rombongan peziarah yang datang ke Desa Balun.
Pasca G 30S PKI tepatnya tahun 1967 Kristen dan Hindu mulai masuk dan berkembang di Desa Balun. Berawal dari adanya pembersihan pada orang-orang yang terlibat dengan PKI termasuk para pamong desa yang diduga terlibat. Akibatnya terjadi kekosongan kepala desa dan perangkatnya. Maka untuk menjaga dan menjalankan pemerintahan desa ditunjuklah seorang prajurit untuk menjadi pejabat sementara di desa Balun. Prajurit tersebut bernama Pak Batih yang beragama Kristen. Dari sinilah Kristen mulai dapat pengikut, kemudian pak Batih mengambil teman dan pendeta untuk membabtis para pemeluk baru. Karena sikap keterbukaan dan toleransi yang tinggi dalam masyarakat Balun maka penetrasi Kristen tidak menimbulkan gejolak. Di samping itu kristen tidak melakukan dakwa dengan ancaman atau kekerasan.
Pada tahun yang sama yakni 1967 juga masuk pembawa agama Hindu yang datang dari desa sebelah yaitu Plosowayuh. Adapun tokoh sesepuh Hindu adalah bapak Tahardono Sasmito. Agama hindu inipun tidak membawa gejolak pada masyarakat umumnya. Masuknya seseorang pada agama baru lebih pada awalnya lebih disebabkan oleh ketertarikan pribadi tanpa ada paksaan. Sebagai agama pendatang di desa Balun, Kristen dan Hindu berkembang secara perlahan-lahan. Mulai melakukan sembahyang di rumah tokoh-tokoh agama mereka, kemudian pertambahan pemeluk baru dan dengan semangat swadaya yang tinggi mulai membangun tempat ibadah sederhana dan setelah melewati tahap-tahap perkembangan sampai akhirnya berdirilah Gereja dan Pura yang megah.
Hal ini berarti kerudung dan kopyah lebih berarti sebagai simbol budaya yang diinterpretasikan menghormati pesta hajatan atau acara ngaturi.
Budaya selamatan juga masih banyak dilakukan oleh masyarakat Balun. Biasanya selamatan menyambut bulan Romadhon dan selamatan sebelum hari raya umat Islam. Bagi yang bukan agama Islam juga ikut mengadakan selamatan, hal ini lebih dimaksudkan atau dimaknai sebagai tindakan sosial dari pada tindakan religius sebab mereka bukan umat Islam. Mereka memaknai untuk merekatkan antar tetangga dan mengenai waktu mereka selaraskan dengan pilihan umat Islam. Selamatan untuk orang meninggal juga masih dilakukan sebagian besar masyarakat Balun, dan mengundang para tetangga dan kerabat termasuk mereka yang beragama Hindu dan Kristen. Bagi mereka memennuhi undangan adalah sesuatu yang penting karena disitu terdapat kontrol sosial yang ketat. Bagi mereka yang tidak datang harus pamitan sebelum atau sesudahnya.

ASAL USUL DESA MADE

         Menurut warga Made Kampung yang sudah sepuh dan sudah banyak beredar di kalangan masyarakat. Bahwa nama Made ditentukan karena ketidak sengajaan. Dahulu kala desa ini bernama desa Matramu, pada suatu hari ada seorang pendatang yang bertanya pada seorang pencari rumput di tepi jalan. pendatang bertanya "desa apa ini ?", pencari rumput menjawab "matramu". Entah apa yang didengar oleh pendatang itu ia mengira pencari rumput itu menjawab "matamu", sontak pendatang itu pun naik pitam dan dan membalas dengan kata "Matamu Dewe", terjadilah perkelahian. setelah kedua orang didamaikan di balai desa dan disaksikan oleh warga, akhirnya nama desa matramu diganti menjadi desa Made dari kata "matamu dewe". cerita inilah yang beredar di wilayah Made Kampung, kebenarannya hanya Allah yang tahu.

Asal Usul Dusun Kowak Desa Bedingin Sugio


        “kowak” adalah istilah jawa yang artinya “lubang”. Padanan  atau istilah jawa lain yang hampir mirip degan ‘kowak” ini adalah “krowak”. Konon kisah pemakaian isilah ‘krowak” ini berawal dari tragedi ragis yang di alami pejabat desa di masa lalu, yakni pak inggi. Menurut cerita yang beredar dalam masyarakat, ketika itu pak inggi sedag dalam perjalanan pulang dari desa wanar (kecamatan ucuk). Satu-satunya alat transportasi pada saat itu adalah kuda. Pak inggi dalam perjalanan tersebut meggunakan asa kuda.
            Sebelum istilah krowak di pakai , nama pendukuhan ini sebelumnya adalah wonosari, dimana “wono” artinya alas atau hutan, sedangkan “sari” berarti bunga. Sebutan wonosari tetumasuk akal mengigat hingga saat ini, sebagian besar wilayah kowak adalah wilayah yang banyak tumbuh  pepohonan tua dan lebat-lebat. Situs akhir tentang kelebatan wono ini dapat dilihat dari tempat pemakaman (kuburan) dimana poho jati dan pohon tua lainnya masih ada. Khusus untuk pohon jati tua, saat ini sudah tidak ada lagi karena sekitar pertengahan 1980an ditebang dan untuk pembangunan masjid.
            Selain di kuburan, situsntua lainnyaadalah keberadaan sumur kowak yang berada di sebelah timur dusun dengan 2 pohon tua dan sebuah pohon yang bunganya merah darah, yakni pohon suko. Sumur ini juga di percayai sebagai sumur keramat.
            Dimasa lalu , dusun wonosari letaknya tidak di dusun kowak sebagaimana sekarang ini, melainkan di sebelah timur laut yang jaraknya sekitar 2km dan berada di dataran tinggi. Lokasi dusun wonosari, saat ni dikenal dengan sebutan cangkring dan songkro.
             Saat pak inggi tiba di dusun wonosari, tiba-tiba kuda yang kesayangannya yang dinaikinya menggigit punggungnya hingga lubang atau krowak. Hingga pak inggi itupun meninngal. Untuk mengenang jasa pak inggi tersebut masyarakat desa sekitar  mengubah nama dusunnya dengan nama dusun kowak.

Asal Usul Desa Kedungpring


Pada zaman dahulu kala ada kesatria yang gagah berani bernama Suro Jenggolo. Dia selalu melakukan perjalanan dengan menunggangi kuda putihnya salah satu hal yang memudahkan orang mengenalinya adalah topinya, yang menyerupai lupang kenteng. Suatu hari ia menemukan sebuah hutan yang lebat disana terdapat pohon bambu. Ia pun mendapat ide untuk mengubah hutan tersebut menjadi wilayah pemukiman warga, dengan kerja kerasnya akhirnya ia berhasil membuat pemukiman warga.
Pada zaman penjajahan belanda ketentraman warga mulai terusik karena belanda berusaha menguasai wilayah tersebut, tapi suro jenggolo tidak tinggal diam ia memimpin warga untuk mempertahankan wilahyanya. Suatu ketika penjajahan belanda membunuh suro jenggolo. Dengan memakai topi lumping kenteng dan kuda putihnya ia melarikan diri dari kejaran para penjajahan belanda. Ia menunggangi kuda putihnya berlari kencang hingga sampai di suatu kedung yang di sekelilingnya terdapat banyak pohon bambu. Suro jenggolo langsung membuang topi lumpang kempingnya ketepi tebing kemudian dia dan kuda putihnya melompat kedalam kedung tersebut.
         Para penjajah tidak berhasi menangkapnya mereka hanya menemukan topi lumpang kenteng yang dipakai suro jenggolo yang di tepi kedung. Semua pasukan di utus untuk mencarinya dan menunggu kedung hingga suro jeggolo keluar. Tapi setelah lama mencari dan menunggu suro jenggolo tidak ditemukan. Akhirnya kabar hilangnya suro jenggolo terdengar seluruh penduduk desa, mereka menganggap suro jenggolo sudah meninggal,padahal suro jenggolo belum meninggal, ia pergi ke suatu tempat untuk menyelamatkan diri, tetapi warga desa sekitar salah pendapat bahwa suro jenggolo menceburkan dirinya ke sumur, padahal tidak. Ia masih hidup di suatu tempat. Pada suatu hari suro jenggolo pergi kembali ke desa tersebut dan ingin membunug para belanda, namun ide suro jenggolo di cium oleh para belanda. Belanda mengetahui bahwa suro jenggolo masih hidup dan mengejarnya kembali , samapi ke sumur itu lagi, dan untuk menyelamatkan diri suro jenggolo benar-benar menyeburkan dirinya ke dalam sumur tersebut dan belanda mengetahuinya sendiri dengan matanya, lalu berita tersebut di sebar keseluruh desa , dan warga desa mendengarnya,  untuk mengenal jasa-jasa suro jenggolo akhirya penduduk desa memberi nama desanya dengan nama KEDUNGPRING, karena suro jenggolo mencebur kedalam kedung yang di sekelilingi banyak pohon bambu yang bahasa jawa disebut pohon pring.

Asal Usul Desa Sunge Geneng


Konon jaman dahulu ada seseorang nenek yang bernama Nyi Towo, Nenek tersebut datang dari suatu daerah dan menemui tanah yang sangat luas yang subur dan banyak ditumbuhi oleh pepohonan dari tebu-tebuan dan sejenisnya yang daerah tersebut merupakan cikal bakal dari desa Sungegeneng. Kemudian nenek tertarik dengan tanah tersebut dan berkeinginan untuk membabat alas semua daerah tersebut dengan cara membakar tanaman tebu-tebuan tersebut untuk dijadikan pemukiman baru. Daerah yang terbakar dan sebaran abu dari jenis tebu-tebuan tersebut diklaim akan menjadi bagian dari wilayah pemukiman tersebut. Karena besarnya api yang memakan hutan tebu-tebuan tersebut dan abu (latu) yang menyebar luas. Hal itulah yang menjadikan desa Sungegeneng memiliki luas daerah yang paling besar melebihi dari desa-desa lainnya dalam 1 (satu) kecamatan, bahkan dalam 1 (satu) kabupaten. Dimungkinkan setelah beberapa puluh tahun kemudian mulailah terbentuk masyarakat kecil disuatu pusat wilayah tertentu di desa Sungegeneng kuno. Terdapat pula beberapa sumber yang mengatakan bahwa dulunya desa Widangkunti merupakan asal muasal desa Sungegeneng, letaknya bukan berada pada desa Widang yang sekarang ini, akan tetapi letaknya diperkirakan berapa pada area persawahan sebelah barat desa Sungegeneng agak ke selatan yang area tersebut masih merupakan daerah milik desa Sungegeneng sampai sekarang. Walaupun telah menjadi area persawahan, namun jika ditelusuri diarea persawaan tersebut, diketahui dulunya ada bangunan masjid kecil dan jejak-jejak peninggalan bekas bangunannya sedikit masih ada. Kemudian karena alasan tertentu, sekelompok keluarga yang tinggal di desa Widangkunti tersebut yang merupakan cikal bakal nenek moyang desa Sungegeneng akhirnya berpindah ke wilayah pertengahan agak ke utara sepanjang jalur timur sampai ke barat sampai sekarang ini.
Setelah beberapa tahun kemudian, ditemukan beberapa pecahan benda-benda mirip keramik, piring dibeberapa tempat yang sepertinya khusus, dan jika ditelaah lebih jauh, ternyata pecahan-pecahan benda tersebut mirip sekali dengan beberapa motif benda di daerah pesisir utara, tepatnya dari daerah sendang dhuwur sunan Drajat Paciran. Ini mengindkasikan bahwa Islam telah lama berkembang dengan pesat di desa Sungegeneng dan diperkirakan sejaman dengan sunan Drajat. Berita ini diperkuat dengan adanya tempat yang dulunya diketahui sebagai pondok Kyi Mangsi yang sakti mandraguna dan para santrinya yang datang dari berbagai daerah dijaman itu. Tempat pondok tersebut diperkirakan berada disebelah barat dusun Demangan, dan berpusat yang sekarang ditempati oleh rumah Pak Hartoyo. Luasan daerah pondok pesantren tersebut kurang lebih membentang sampai sebelum kearah masjid LDII (sekarang) dan disebelah selatannya berbatasan langsung dengan sungai. Lalu dibagian manakah bangunan peradaban dari desa Sungegeneng tersebut pertama kali dibangun. Sebelumnya perlu diketahui dan menilik dari alur persebaran luasan daerah didesa yang dimulai dari bagian tengah sedikit timur, sampai ke selatan. Anggaplah batasan utara dan selatan pada saat itu adalah “kali ombo” (sungai yang berada diseberang rumah Bu Kies : sekarang) yang memanjang dari barat hingga timur. Hal ini dapat ditarik kesimpulan awal bahwa peradaban desa Sungegeneng dibangun di daerah dekat tepian sungai dan berada ditengah agak ketimur.
Desa Sungegeneng dulu merupakan lokasi dari wilayah yang strategis untuk perdagangan, ini ditengarai waktu kejadiannya yaitu beberapa tahun setelah zaman kemerdekaan Indonesia. Dulunya tempat yang sekarang digunakan sebagai kantor desa (sebelahnya telaga kulon : sekarang) adalah pasar agung tepat saudagar-saudagar besar berdatangan ke desa Sungegeneng dan memang saat itu sangat ramai terjadi transaksi jual beli barang dan jasa yang padat mulai dari setelah subuh sampai hamper mendekati malam hari. Setelah beberapa puluh tahun kemudian pasar tersebut mulai sepi ketika mulai ada pasar kecamatan, yaitu tepat pasar sekaran (saat ini).

Desa Sungegeneng kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan dengan kodepos desa Sungegeneng : 62261 membentuk bangun segitiga untuk wilayah pemukimannya. Terletak kurang lebih pada Lintang 7°02’56.60”S 112°17’41.02”E (Tujuh derajat, dua menit, dan lima puluh enam koma enam puluh detik Lintang Selatan. Seratus dua belas derajat, tujuh belas menit, dan empat puluh satu koma dua detik Bujur Timur).

Asal usul Desa Kadung Rembuk


Dahulu kala tinggalah sekelompok masyarakat di sebuah desa yang makmur,desa itu terkenal dengan masyarakatnya yang baik,rukun,dan suka bergotong royong,
Pada suatu hari terjadilah suatu permasalahan di desa tersebut,seperti biasa ketika terjadi suatu permasalahan seluruh warga berkumpul disebuah balaidesa untuk membahas permasalahan permasalahan yang terjadi,dan akhirnya pembahasan masalah itu telah di musyawarahkan dan selesailah masalah,akan tetapi masih ada sejumlah warga yang tidak setuju akan keputusan yang telah diputuskan dalam musyawarah tersebut,namun permasalahan itu sudah terlanjur dibahas dan keputusannya sudah ditetapkan di desa itu,akan tetapi kenapa masih ada warga yang tidak setuju dengan keputusan tersebut
Akhirnya warga setempat memutuskan untuk menamai desa itu dengan sebuta “KADUNG REMBUG” dari asal kata “KADUNG” yang berarti terlanjur,dan “REMBUG” yang berarti bahas dan digabung menjadi suatu desa yang bernama “KADUNG REMBUG” yang berarti terlanjur dibahas.
Didesa kadung rembug terdapat berbagai tradisi,salah satunya adalah TRADISI NYADRAN,biasanya nyadran dilakukan pada tanggal 17 agustus,tujuan nyadran didesa kadung adalah untuk tanda syukur kepada Allah SWT atas kesehatan yang telah diberikan,biasanya warga menyiapkan dengan cara nasi ditaruh ditampah dengan pelengkap ikan,buah buahan dan krupuk dan juga masih banyak jajanan lainnya.
Warga kadung rembug selalu menggunakan tradisi ini sampai sekarang,dan bukan hanya nyadran,didesa kadung rembung terdapat tradisi”MEMETIK PADI” yang dari dulu sampai sekarang masih dilakukan oleh semua warga,memetik padi dilakukan warga untuk mengucapkan tanda syukur kepada Allah SWT atas apa yang telah diberikannya sehingga tanaman padinya bagus dan tidak gagal panen.Setiap panen pai warga melakukan tradisi tersebut dan juga menjalankan tradisi “MAULID NABI MUHAMMAD SAW” yang biasanya disebut dengan “MULUD’TAN” untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Asal usul Desa Wangunrejo


Asal mula nama Dusun Winong,Dusun Pilang dan Dusun Prambon yang sekarang menjadi satu wilayah Desa Wangunrejo Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan.
Pada waktu itu Desa Wangunrejo dan sekitarnya masih ikut wilayah Kadipaten Sedayu Lawas yang dipimpin oleh seorang Adipati bernama Ronggo Joyo Sasmito. Ketika itu terdengar desas desus dari kawulo alit, bahwa ada segerombolan keraman (begal/penyamun) dari wilayah Kediri yang ingin merebut kekuasaan Kadipaten Sedayu Lawas.
Akhirnya berita itu terdengar sampai ke telinga Adipati Ronggo Joyo Sasmito sendiri. Untuk membuktikannya, Adipati mengutus seorang Mantri beserta bala tentara/prajurit untuk menghadang segerombolan keraman dari Kediri. Berangkatlah Mantri beserta prajurit Kadipaten Sedayu,akan tetapi sebelum berangkat Adipati memberi bekal sebuah keris pusaka Kadipaten Sedayu yaitu Koro Welang. Dan sebagai tunggangannya adalah seekor gajah. Dalam perjalanannya ke selatan sampai di dusun Dangean desa Surabayan, terjadilah penghadangan dan pertempuran dengan keraman yang dipimpin oleh Singo Joyo. Namun saat itu jumlah pasukan  keduanya tidak seimbang. Dengan kata lain, jumlah pasukan Kediri lebih banyak dari Kadipaten Sedayu. Sehingga pasukan Kadipaten Sedayu mundur menuju arah utara untuk mencari tempat yang lebih strategis. Akan tetapi kerangka pusaka yang dibawa oleh Mantri yang terbuat dari kayu Timongo tersebut hilang. Tempat hilangnya kerangka pusaka tersebut diberi nama Pilang untuk sebelah utara (diambil dari kata”hilang”) dan kerangka pusaka yang terbuat dari kayu Timongo tersebut diberi nama Winong untuk sebelah selatan(diambil dari kata”Timongo”).
Akibat dari hilangnya kerangka pusaka tersebut, Mantri semakin bingung. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk mundur kembali ke arah barat. Namun pasukan Kediri tetap mengejarnya dan terjadilah pertempuran kembali yang mengakibatkan pusaka Koro Welang hilang serta gajah yang ditungganginya terkena tombak sampai tercabik-cabik (mowol-mowol) dan mati. Di tempat itulah diberi nama”Jawol”(gajah mowol-mowol) yang sekarang menjadi sebuah telaga yaitu Telaga Jawol yang terletak di sebelah selatan desa Geger.
Sang Mantri dan beberapa prajurit yang selamat dari pertempuran itu, lari ke arah utara yaitu ke padang rumput Bogo(rumput berduri). Begitu pula dengan Singo Joyo dan pasukan yang tetap mengejar sang Mantri. Disitulah terjadi pertempuran untuk yang ketiga kalinya, yang mengakibatkan tewasnya sang Mantri dan beberapa prajuritnya. Beliau di makamkan di tempat itu, maka tempat itu diberi nama Bogo Rame yang saat ini menjadi dusun Gorame desa Badurame. Namun ada seorang prajurit Kadipaten Sedayu yang selamat dan melapor ke Adipati Ronggo Joyo Sasmito, bahwa sang Mantri telah gugur di medan perang.
Tanpa pikir panjang, Adipati turun tangan untuk menghadapi Singo Joyo. Singkat cerita, Adipati berhasil membunuh Singo Joyo di sebuah rawa yang embet (lumpur) yang sekarang menjadi dusun Ngembet yang terletak di sebelah barat desa Badurame.
Versi lain dari nama Dusun Prambon Desa Wangunrejo. Konon cerita dusun tersebut tempatnya sapi-sapi yang siap dikirim ke wilayah Lamongan dan Gresik. Namun sebelum tiba di tempat tujuan, sapi-sapi itu diistirahatkan dan dipelihara di tempat peristirahatan (kandang), karena orang dahulu membawa sapi-sapinya dengan jalan kaki(tidak naik kendaraan seperti sekarang). Lalu orang Jawa menyebutnya tempat sapi rambon.Maka orang sekitar menyebutnya Prambon. Yang sampai saat ini diberi nama dusun Prambon.
Itulah sejarah terbentuknya desa Wangunrejo. Dalam artian Wangun (tatanan,kesatuan) dan Rejo(aman,ramai,damai dan asri). Dengan kata lain Wangunrejo adalah sebuah kumpulan atau satuan dari tiga dusun yang mengutamakan unsur kesatuan demi mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian.

Selasa, 12 Mei 2015

Sejarah Desa Wanar


Desa Wanar terletak di Kecamatan Pucuk Kab. Lamongan, terletak di sebelah barat daya kota Lamongan. Pendiri ialah Raden Panembahan Agung Singodipuro salah seorang cucu Pangeran Singosari penguasa Giri yang terakhir.
Tatkala Giri berhasil dikalahkan oleh Amangkurat II yang bekerja sama dengan Kompeni Belanda pada tanggal 25 April 1680, Raden Panembahan Agung Singodipuro berhasil meloloskan diri ke desa Kradenanrejo wilayah Kedungpring.
Setelah melewati masa persembunyian di Gunung Liman Nganjuk dan lereng Gunung Wilis, beliau berhasil mempersunting puteri Adipati Magetan yang bernama R.A. Koening. Keduanya kemudian bebadra (mengambil tempat untuk tinggal) di tengah hutan jati di wilayah Lamongan yang kemudian berubah menjadi sebuah Desa yang diberi nama Wanar.
Dari Desa ini menurut cerita orang-orang tua, agama Islam disebarkan oleh Panembahan Agung Singodipuro dan anak cucu-cucunya ke desa-desa sekelilingnya sampai ke Ngimbang, Jombang, bahkan sampai ke wilayah Bojonegoro.
Untuk mengingat jasanya dalam menyebarkan agama Islam, oleh warga dan keturunannya sekarang telah didirikan bangunan di makam beliu sebagai tempat ziarah dan khoul do’a bersama yang diadakan setiap tahun sekali, di samping itu di sana masih disimpan dengan baik benda-benda peninggalannya.


ASAL USUL DESA SURABAYAN


       Pada zaman dahulu ada seorang pemuda, ia terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Dalam kehidupannya ia sering kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaannya pun tak menentu dan penghasilannya pun pas - pasan. Setiap hari ia harus banting tulang agar bisa memenuhi kebutuhannya sehari – hari tapi masih saja kekurangan.
            Suatu ketika ia berfikir untuk merantau kesuatu tempat. Tepatnya di kota Surabaya. Ia mencari kerja disana, untuk merubah nasibnya yang buruk itu. Ia berusaha mencari pekerjaan kesana kemari. Namun tak kunjung dapat. Namun ia tidak menyerah. Ia terus mencari dan mencari. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan seorang Bapak – Bapak yang baik hati. Dia melihat seorang pemuda itu Nampak letih. Dan ia menghampiri pemuda itu. Dan bertanya “kenapa kamu terlihat letih?” Pemuda menjawab “itu karena aku kelelahan, sehari ini mencari pekerjaan namun tak kunjung dapat”. Akhirnya Bapak itu pun merasa ibah kepada pemuda itu dan memberikan pekerjaan kepada pemuda itu. Ia menjalankan pekerjaan itu bengan baik, hingga akhirnya ia sekarang menjadi seorang pemuda yang sukses atas semua  perjuangan beliau selama ini. Setelah itu  ia pulang dan orang – orang pun terkejut dengan perubahan yang terjadi pada seorang pemuda tersebut, dan mereka pun penasaran dengan perubahan tersebut, dan menanyakan kepada pemuda itu. Akhirnya orang – orang pun mengikuti perjuangannya. Untuk pergi mencari kerja ke kota Surabaya.
            Karena banyak banyak yang bekerja di Surabaya dan sukses disana maka desa itu diberi nama Ds. Surabayan. 

ASAL USUL DESA PLUMPANG


        Pada masa dahulu ada 3 Tokoh pewayangan yang bernama Semar, Gareng  dan Petruk. Semar mempunyai karakter yang baik, pandai, dermawan dan selalu optimis, lalu Gareng mempunyai karakter rajin, optimis, dan tidak mudah putus asa, sedangkan Petruk mempunyai karakter yang berbeda dari kedua tokoh tersebut yaitu disiplin, bijaksana, dan tidak mudah tersinggung. Mereka merana kalau bumi itu serong/ miring karena posisi gunung kidul yang tidak seimbang. Mereka semua selalu berfikir agar bumi tersebut tidak serong/ miring kembali. Sehingga salah satu dari 3 Tokoh pewayangan tersebut yaitu semar berinisiatif memindahkan gunung kesuatu daerah. Mereka bermusyawarah untuk menyusun rencana. Malam itu mereka memikul gunung dengan kayu kelor yang di balur pohon sembuan, setelah itu ditengah perjalanan ada 2 batu yang jatuh.
            Mereka berburu – buru karena ada seseorang yang memukul – mukul bakul yang tandanya hari segera pagi karena takut ketahuan orang ia meninggalkan batu di daerah tersebut. Akhirnya, mereka meletakkan gunung di suatu tempat. Semar  berkata “Akhirnya kita dapat menyelesaikan tugas dengan apa yang kita inginkan dan sekarang bumi kita tidak miring lagi dan seimbang”. Dan batu yang tertinggal tersebut mirip Alu dan Lumpang sehingga 3 Tokoh pewayangan yaitu Semar, Gareng dan Petruk menamakan Daerah tersebut dengan nama DESA PLUMPANG.

            

ASAL USUL DESA SIWALAN REJO

         Awal mula terbentuknya desa siwalan rejo. Pada zaman dahulu ada tiga laki-laki yang sedang berpetualang di sebuah tempat yang tidak dikenal untuk mencari bambu. Memang pekerjaan ketiga laki-laki itu membuat anyaman dari bambu untuk di jual kesemua orang dan untuk kebutuhan sehari-harinya. Pada keesokan harinya dia kembali lagi ke tempat yang kemarin untuk mencari bambu. Ketiga laki-laki merasa senang karena bambu di tempat itu sangat banyak dan besar-besar. Kemudian mereka berjalan ke arah yang tidak sama/berpenca. Seorang lelaki yang pertama itu berjalan ke arah jalan buntu dan sudah tidak ada arah jalan lagi, kemudian lelaki yang ke dua itu menemukan sebuah tempat yang udaranya sangat sejuk dan sangat nyaman untuk dirinya sampai-sampai dia ketiduran dibawah pohon bambu, sedangkan laki-laki yang ke tiga itu menemukan sebuah biji yang berceceran di tanah lalu dia berinisiatif memungutinya, tetapi dia tidak tau itu biji apa, biji tumbuhan/biji buah. Kemudian biji itu di bawah pulang oleh laki-laki ke tiga. Tanpa di sengaja mereka bertemu disatu arah yang sama dan mereka pun pulang bersama-sama. Sebelum sampai rumah biji yang di temukan oleh lelaki ke tiga hilang pada saat perjalanan pulangnya.Dia bingung harus mencari kemana,  tetepi kedua lelaki lainnya bingung apa yang di carinya,  karena mereka tidak tau kalau dia menemukan biji pada saat mereka berpencar. Kemudian ada seorang kakek yang umurnya sudah sangat tua. Kakek itu menemukan biji yang dicari oleh salah satu dari ketiga laki-laki itu tetapi laki-laki tersebut masih mencari biji yang hilang. Kemudian mereka bertemu dengan kakek tersebut dan mereka tau kalau biji itu sudah di tangan kakek. Kemudian mereka bilang kalau itu biji yang di temukannya, terapi hilang pada saat perjalanan pulang. Kakek dan ketiga laki-laki tersebut masih tidak mengetahui bahwa itu sebenarnya biji apa. Pada keesokan harinya mereka bertemu lagi di tempat yang sama, kemudian mereka menanamnya di tempat itu. Karena dia ingin tau sebenarnya bahwa itu biji tumbuhan / buah. Beberapa tahun kemudian tumbuhan pohon yang menjulang tinggih dan berbuah banyak pohon itu seperti menyerupai pohon kelapa, kakek dan ketiga orang tersebut memberi nama pohon itu  pohon siwalan dan buahnya di beri nama buah ental dan kejadian tumbuhnya pohon tersebut akhirnya tempat itu dinamakan desa siwalan rejo yang bertujuan agar masyarakat yang tinggal di tempat tersebut dapat memperpleh kesejah teraan dan kemuliaan.

Asal Usul Desa Waru Kulon


Desa Waru Kulon yang terletak di Kecamatan Pucuk, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur, mempunyai banyak cerita. Beberapa diantaranya menceritakan para sesepuh desa yang sudah meninggal. Beberapa cerita lainnya sangat berkaitan dengan dengan keberadaan desa-desa tetangga, seperti Desa Waru Wetan, Desa Kesambi, dan Desa Pucuk.
Terdapat sebuah cerita tentang asal mula nama Desa Waru Kulon. Beginilah ceritanya. Dahulu kala, saat penduduk desa masih sedikit jumlahnya, terdapat sebuah pohon yang sangat besar, tinggi, dan berdaun lebat. Penduduk tidak mengetahui jenis pohon itu. Entah karena diterjang angin atau memang ditebang oleh orang yang tidak bertanggung jawab, tiba-tiba pohon itu tumbang ke sebelah barat. Akarnya ada di sebelah tumur dan ujung batangnya ada di sebelah barat.
Karena para penduduk merasa penasaran, mereka pun menelusuri pohon tersebut mulai dari akar hingga ke ujung batangnya. Ternyata, pohon itu berdaun waru. Warnanya hijau muda dan hijau tua berbentuk hati. Ada dua wilayah dimana terdapat banyak daun waru, yaitu wilayah bagian timur dan wilayah bagian barat. Di bagian timur, seorang sesepuh desa berkata, “Mergane godong waru iki ono ning sisih wetan, panggon iki tak jenengi Waru Wetan”. Artinya, “Karena daun waru ini ada di sebelah timur, tempat ini aku beri nama Waru Wetan”. Wetan artinya timur. Sementara itu, di bagian barat, sesepuh desa tersebut berkata lagi, “Godong waru iki yo ono ning sisih kulon. Panggon iki tak jenengi Waru Kulon”. Artinya, “Daun waru ini ada juga di sebelah barat. Tempat ini aku beri nama Waru Kulon”. Kulon artinya barat.
Kemudian, para penduduk desa melanjutkan penelusurannya. Mereka tidak menemukan daun waru lagi. Mereka hanya menemukan batang pohon. Wilayah yang dilewati batang pohon diberi nama Kesambi. Penduduk desa menelusuri pohon itu lagi hingga ujung batangnya. Wilayah dimana ujung batang pohon ditemukan diberi nama Pucuk. Penduduk desa membersihkan empat wilayah, Waru Wetan, Waru Kulon, Kesambi, dan Pucuk, dari pohon yang tumbang dengan gotong royong.
       Beberapa tahun kemudian, empat wilayah tersebut masing-masing berubah menjadi sebuah desa. Ada Desa Waru Wetan, Desa Waru Kulon, Desa Kesambi, dan Desa Pucuk yang kesemuanya masuk dalam Kecamatan Pucuk, Kabupaten Lamongan. Seiring bertambahnya usia, Desa Waru Kulon semakin maju. Terbukti sejak dibangunnya Pasar Desa, Puskesmas Pucuk, Kantor Koramil, Kantor Polsek, KUA, dan Pabrik Pengolahan Timah di Desa Waru Kulon. banyak pula orang yang tinggal dan menetap di Desa Waru Kulon sampai saat ini.

ASAL USUL DESA MOROPELANG


Pada zaman dulu ada sebuah tempat pemukiman yang penuh dengan pepohonan seperti hutan. Dulu orang luar belum mengetahui nama desa itu, lalu terjadi percakapan antara dua orang, “mas, itu desa apa ya?, kok tempatnya seperti hutan?”, lalu dijawab “entah mas, aq juga gak tau, tapi agak sedikit juga sih katanya yang tinggal di sana!”. Pada saat itulah dari mulut ke mulut orang mulai memperhatikan tempat pemukiman itu, Orang-orang mulai penasaran dengan pe mukiman itu.
            Pada suatu hari ada penduduk yang entah dari daerah mana masuk kedalam pemukiman itu. Lalu salah satu penduduk tetangga desa menanyai orang itu yang hendak masuk ke pemukiman tanpa nama itu. “mas, mau kemana kok jalan kesana?”. Lalu dijawab “iya mas, ini mau ke tempat sana,  Itu disitu ada pemukiman!” . orang- orang semakin lama semakin penasaran kenapa ada juga yang mau kesana padahal masih banyak yang belum tau kondisi dan situasinya seperti apa.
            Suatu hari penduduk tetangga desa mulai curiga dengan tempat pemukiman itu. Dan orang-orang disana berdiskusi , dan kesimpulannya adalah orang yang dari luar masuk kedalam tempat pemukiman sebelah desa mereka tidak pernah muncul kembali bahkan tidak pernah kelihatan. Dalam bahasa jawa datang yang artinya “MORO” dan hilang artinya “ELANG” . dan akhirnya desa itu disebut MOROELANG, tetapi karena tempatnya berbatasan/dekat dengan Desa Pelang maka dirubah menjadi MOROPELANG.

Asal Usul Desa Pangkatrejo


Pada zaman dahulu kala, tepatnya disuatu daerah tinggallah seorang lelaki tua. Dia tinggal seorang diri sebab istrinya telah lama meninggal dunia. Lelaki tersebut hidup dengan sederhana dan seadanya. Rumah yang ditempatinya sudah reok termakan usia.
Daerah yang ditempatinya jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Ditempat itu pula dia mengabdikan dirinya untuk kepentingan bersama. Tempat yang begitu indah dan tentram. Orang-orang disekitarnya memanggil lelaki tua tersebut dengan nama Mbah Saeban.
Mbah Saeban juga berjasa dalam ketentraman dan kejayaan serta kemakmuran. Sebab dalam perjalan hidupnya beliau menemukan empat tempat sekaligus, yang pertama beliau beri nama BILO, yang kedua beliau beri nama TUYOH, yang ketiga beliau beri nama DUREG, dan yang keempat  beliau beri nama SEBAN.
Seban merupakan nama tempat pertama yang ia temukan, sesuai namanya yaitu Saeban menjadi SEBAN.
Pada malam hari sangat gelap namun berbeda dengan malam hari lainnya, karenanya Mbah Saeban menyalakan UBLIK,  dari lampu ublik tersebut terdapat empat elemen yang saling terikat satu sama lainnya. Keempat elemen tersebut yaitu JADUG,TELUPAKKAN,LENGO,dan UCENG.
JADUG merupakan lampu obor sebab pada zaman dahulu belum ada listrik, TELUPAKKAN merupakan tempat untuk menaruh bahan bakar berupa minyak gas agar JADUG menyala, sedangkan LENGO yaitu minyak gas,  serta UCENG ialah benda untuk menyalakan JADUG, UCENG sama seperti sumbu pada kompor gas.
Dari keempat elemen tersebut, Mbah Saeban menyebarkannya ke masing-masing dusun. Jadug beliau tempatkan di dusun Bilo, Telupakkan ia tempatka di dusun Tuyoh, Lengo ia tempatkan di dusun Dureg, dan Uceng ia tempatkan di dusun Seban.
Sebelumnya Bilo juga memiliki sejarah, yaitu pada saat terdapat wali dia menionggalkan bajunya di sebuah Telaga selama bertyahun-tahun,setelah mengunjunginya dia heran sebab bajunya tidak hilang sampai ala dalam bahasa indonesia artinya jelek. Maka dari itu kata bilo berasal dari kata ala.
Dan karena jasanya Mbah Saeban dikenang sampai sekarang dengan adanya sebuiah makam Mbah Saeban dijaga selama bertahun-tahun hingga  saat ini juga.

Narasumber: Mbah Tarjo

Mengenal Tari Boran


Hai pembaca setia, kali ini saya akan membahas sedikit tentang tari. Ayo tebak tari apa ??? yupp betul, tari khas dari kota bandeng lele yaitu tari boran. Kenapa sih dikatakan tari boran ?
Disebut Tari BORAN (Sego Boran) karena tari ini merupakan penggambaran suasana kehidupan para penjual Nasi Boran di Kabupaten Lamongan dalam menjajakan dagangannya dan berinteraksi dengan pembeli. Kesabaran, gairah, dan semangat serta ketangguhan adalah semangat mereka dalam menghadapi ketatnya persaingan dan beratnya tantangan hidup untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Iwak kutuk, sambel, sili, plethuk, peyek, gimbal, empuk adalah ciri khasku, Nasi Boran khas Lamongan.
Dari tari boran kita dapat belajar banyak hal, terutama bagaimana sulitnya perjuangan para penjual Nasi Boran khas Lamongan. Mereka harus bekerja keras untuk menyiapkan berbagai bumbu dan memasaknya menjadi suguhan yang memanjakan lidah para penikmat nasi boran. Setelah memasak mereka harus menjajakan nasi boran yang sudah dibuat bahkan sampe larut malam. Betapa berat dan lelahnya perjuangan para penjual nasi boran.
Perkembangan tari boran sangat luar biasa pesat, dari anak-anak sampai orang dewasa mau mempelajari dan mengembangkan tari boran. Padahal terciptanya tari boran Dimulai dari terinspirasi pada penjual tari boran. Kemudian dikembangkan menjadi sebuah tarian dengan gerakan-gerakan yang indah. Tari boran ini menjadi tari khas daerah lamongan. Tari boran sangat membanggakan kota Lamongan, karena Tarian ini telah memperoleh banyak prestasi yang luar biasa. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di Lamongan biasanya menampilkan Tarian ini, supaya para warga Lamongan mengetahui bahwa Lamongan mempunyai kesenian yang luar biasa. Sebagai generasi muda sudah patutlah kita turut serta menjaga eksistensinya dan kelestariannya. Seiring dengan perkembangan zaman, tari boran harus terus dikembangkan menjadi tarian yang lebih modern
Tahu tidak kawan, apa yang membuat tari boran sangat menarik ? Keindahan tari boran terletak pada gerakannya yang sangat indah. Gerakannya memang cepat, tetapi kaya akan makna dan disusun secara rancak serta indah. Juga terletak pada pakaiannnya yang berwarna-warni, serta make up yang sederhana tetapi tetap menarik.
Busana dalam tarian boran ini tidak begitu rumit (simple). Memakai : Celana ¾ dengan warna-warna yang cerah, Baju lengan panjang dengan warna di sesuaikan celana, Penutup kepala (kupluk)
Gerakan tari Boranan cukup sederhana namun bermakna, dengan sentuhan tradisional. Setiap gerakan menunjukkan aktivitas penjual Boranan, dari menyiapkan makana sampai menyerahkannya kepada pelanggan. Para penari terlihat begitu lincah, serasi, dan kompak dalam membawakan Tari Boranan. Irama dalam Tari Boran ini naik turun. Kadang kala gerakannya lambat, kadang kala gerakannya menjadi cepat.
Demikian sedikit pengetahuan tentang tari boran, semoga bermanfaat untuk para pembaca semua. Jika ingin tahu banyak tentang tari boran, silahkan lihat saat ada pertunjukan tari boran. Mari kita nguri nguri kabudayan

Senin, 11 Mei 2015

ASAL USUL DUSUN MERJOYO


Dulu sekitar tahun 1080 ketika sebagian dari bumi masih berwujud hutan yang lebat, seorang kakek tua yang bernama Ki Garyo yang terkenal ramah, baik dan sopan dan ia memiliki beberapa keturunan diantaranya adalah Ki Kertek.
Suatu hari Ki Kertek pergi kesuatu tempat. Di sebuah tempat tersebut Ki Kertek menemukan sebuah makam yang tidak dikenal. makam itu dianggapnya makam orang yang sakti karena jika orang atau binatang yang bukan keturunan dari Ki Kertek lewat disekitar makam itu maka orang atau binatang tersebut akan terkena sambikolo. Akan tetapi jika orang yang lewat tersebut keturunan dari Ki Kertek maka tidak mengalami masalah apapun atau dalam bahasa jawa tidak terkena sambikolo. Oleh sebab itu Ki Kertek dianggap sebagai orang yang Berjaya atau dalam bahasa jawa JOYO.
Ki Kertek ingin mendirikan suatu dusun kecil sebagai tempat hunian warga. Dia akhirnya menebang semua pohon dihutan yang lebat itu. Hari demi hari akhirnya semua pohon berhasil ditebang dan akhirnya terbentuklah lahan kosong yang siap dihuni sebagai sebuah dusun. Para warga pun satu per satu mulai membangun hunian-hunian mereka dilahan tersebut.
Hingga akhirnya rumah demi rumah sederhana berhasil berdiri dalam sebuah dusun dn warga pun satu per satu mulai menjalani aktifitas mereka didusun tersebut .hal ini sekaligus mewujudkan cita-cita Ki Kertek. Karena Ki Kertek adalah seorang sesepuh didusun tersebut dan ia dianggap orang yang Berjaya atau dalam istilah bahasa jawa disebut “JOYO”
Setelah beberapa waktu berlangsung, suatu hari Ki Kertek berkunjung kerumah sanak saudaranya bernama Ki Darmo yang berada di daerah Trowulan Mojokerto tepatnya didusun Merjoyo. kemudian Ki Kertek dan Ki Darmo ingin dusun yang mereka dirikan memiliki nama yang sama. Akhirnya Ki Kertek dan Ki Darmo sepakat memberi nama dusun Merjoyo.
Setelah beberapa tahun berlangsung, tepatnya pada jaman penjajahan belanda, kehidupan warga berubah drastis. Terjadi banyak peperangan dan penindasan pada warga. Kemudian setelah warga mulai mengenal politik, mulailah dibentuk perangkat-perangkat dusun dan para pimipinnya. Dan yang menjadi kepala dusun atauyang lebih yang dikenal bapak polo adalah bapak Kertek
Dan ketika bapak Kertek sudah meninggal, kepemimpinannya digantikan oleh anaknya yang bernama bapak jarwo, karena warga ingin terus Berjaya sehingga para warga sepakat memilih kepala dusun yang berasal dari keturunan Ki Kertek. Namun seiring berjalannya waktu, warga desa merjoyo tidak menganut kepercayaan itu lagi.
Disamping itu, didusun merjoyo terdapat pohon yang bersejarah. Pohon-pohon itu bentuknya besar yang dikenal keramat dan angker oleh warga dusun merjoyo. Pohon itu diberi nama “POTHOK”.
Dan saat ini nama Desa Merjoyo itu tetap digunakan.

SEJARAH DESA LUKREJO


Penelitian tim yamasta (beranggotakan sarnawi ,sofyan ,drs matrais), baru-baru ini, setelah menemukan situs makam kerabat gajah mada di desa modo lamongan selatan dilanjutkan kewilayah lamongan tengah yaitu diwilayah”bengawan jero” dan justru menemukan situs makam kerabat gajah mada didesa modo lamongan selatan, dilanjutkan kewilayah lamongan tengah yaitu diwilayah tengah’’ bengawan jero”dan justru menemukan”situs dasyat .yaitu desa lukman hakim, yang dizaman orde baru diubah oleh pejabat ABRI menjadi”Luk Rejo” dan kini oleh masyarakat biasa disebut desa ‘Ngeluk’
            Desa Luk Rejo diperkirakan oleh sarnawi didirikan pada tahun-tahun akhir majapahit atau abad 14-15 M, berdasarkan temuan tim yamasta, yakni batu bata zaman majapahit dan keramik direruntuhan komplek makam didesa Luk Rejo, yang diperkirakan beredar dizaman majapahit(beberapa makam panjang juga menunggu diteliti lebih lanjut) “dulu pernah ada penduduk yang membongkar makam panjang atas sepengetahuan lurah lama, namun ketika diketahui bahwa kerangkan jenazah itu panjangnya 3m, maka dimakamkan lagi katrena semua pada takut “, tutur pak mantan yang merupsakan nama panggilasn mantan lurah sebelum kepala desa yang sekarang
            Yang luar biasa adalah tokoh grafi desa ‘eks lukman hakim’.peta lama yang diingat-ingat lalu digambarkan oleh pak mantan dalam secarik kertas adalah berbentuk botol, semua tepi desa tertutup sungai dan timbunan bambu dan hanya ada satu jalan keluar desa. Nama desa yakni lukman hakim untuk ukuran zaman majapahit tergolong luar biasa karena mampunyai nama islam ketika kuasaan ada ditangan rezim Hindu Budha. Simpul sarnawi arkeolog dari numismatik membuat penilaian “desa itu yang terletak di kecamatan kalitengah kabupaten lamongan(wilayah tengah) memang lain dari desa yangn lain mempunyai bentuk yang ajaib, yakni berupa desa yang dikelilingi parit dan benteng bata dan hanya mempunyai satu jalan keluar.
            Hal itu masih bisa dilihat jelas ketika kita menggogling dengan” teknologi google earth”. Tentu saja yang terekam sekarang adalah bentuk yang sekarang yang sudah rusak, karena ada penambahan jalan keluar namun secara garis besar masih nampak bentuknya imbuh Viddy Ad Daery, budayawan nusantara asal lamongan. Ketika tim yamasta kelapangan tampak bekas pertahan 3 posko yakni posko kanan dan kiri desa dan posko belakang desa dan sampai saat ini posko tersebut tetap digunakan dan nama desa itu tetap dijadikan patokan untuk desa tersebut

SEJARAH DUSUN METESEH DESA LEBAKADI SUGIO


Dahulu ada 3 orang saudara yang berasal dari Sunan Giri. Mereka sedang lelono/lelakon atau jalan-jalan. 3 orang saudara itu terdiri dari 2 laki-laki dan 1 orang perempuan. Satu orang laki-laki pergi ke desa Legreng dan yang satunya pergi ke desa Badu kecamatan Pucuk dan yang perempuan memilih untuk tinggal di desa Meteseh, perempuan itu bernama Mbah Marsini. Saat beliau sampai di desa meteseh ini beliau berkata “wes aku tak nang kene ae ben slamet nyiseh”, nah dari kejadian itulah maka desa ini dinamakan meteseh. Meteseh sendiri berasal dari kata “slamet” dan “nyiseh”. Slamet artinya selamat dan nyiseh artinya menepi.
Saat mbah marsini datang ke desa ini belum ada satupun rumah-rumah warga, saat itu kondisinya masih dalam keadaan seperti hutan/alas. Namun seiring berjalannya waktu akhirnya satu persatu mulai ada rumah-rumah warga. Dulu desa ini hanya terdiri dari 2 lurung atau gang, tetapi sekarang sudah bertambah menjadi 4 gang.
Konon pada zaman dahulu mbah Tarko suami dari mbah Marsini membuat sumur yang berada di sebelah utara desa. Sumur ini sangat besar sekali dan sumber mata airnya sangat segar dan murni layaknya sumber mata air pegunungan. Apabila terjadi musim kemarau maka warga desa banyak yang mengambil airnya dari sumur itu, tarmasuk juga warga dari desa tetangga seperti desa Tanggul, desa Dagelan, dan desa Karanggeneng. Sumur ini terletak di samping pohon-pohon besar yaitu pohon asam dan pohon bulu. Oleh warga setempat sumur ini dipercayai dapat menyembuhkan penyakit karena yang membuat sumur itu mbah Tarko yang masih keturunan dari Sunan Giri. Usia sumur itu sampai saat ini sudah tua sekali, tapi bangunannya masih kuat dan kokoh. Konon menurut masyarakat setempat sumur ini hanya boleh diuras atau dibersihkan dalamnya oleh keturunan dari mbah Tarko, dan apabila yang membersihkan itu warga biasa, maka sumur itu akan mengeluarkan bau yang tidak enak.
      Setiap satu tahun sekali masyarakat setempat selalu mengadakan acara Sedekah Bumi atau nyadran sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat atas diperolehnya hasil-hasil pertanian yang baik. Biasanya acara itu di lakukan dengan cara semua masyarakat berbondong-bondong membawa makanan ke masjid setempat pada malam hari, kemudian makanan itu di di tukar dengan milik orang-orang. Kemudian paginya biasanya ada hiburan Gong atau Tayuban. Konon menurut sesepuh desa Gong merupakan suatu kesenian yang dapat mengumpulkan semua warga dalam desa setempat.

SEJARAH DESA NGAMBEG


Dahulu kala ketika zaman kerajaan mataram islam telah ada sebuah desa disebelah selatan bengawan solo yang bernama “Karang panggang”. Desa ini sangat terpencil diantara dua hutan yaitu hutan”Wono Rejo dan Hutan Babatan” yang saat ini telah menjadi sebuah dusun bentol bagian dari desa ngambeg, dan desa Babat Kumpul. Didesa Karang Panggang ini kehidupan sangat tenang dan toleransi terhadap sesama dan budaya sangat tinggi dan mempunyai peradaban yang sangat mulia
            Suatu ketika disebuah desa yang sejahtera dan penuh kedamaian lahirlah seorang pemuda yang terkenal agak Bengal dan bandel, tapi sangat sakti mandraguna, dengan sifat yang ugal-ugalan pada waktu itu dan oleh para tokoh desa Karang Panggang dianggap bertingkah yang tidak pantas maka pemuda itu diusir dari desa, dengan berat hati pemuda ini (yang sampai saat diketahui sebagai Mbah Langkir) harus meninggalkan desa yang sangat dicintainya sehingga dia harus bermalam dan berteduh di pepohonan hutan jati di sebelah timur Desa Karang Panggang dengan kesaktian yang dimiliki pemuda itu akhirnya mengembara bertahun-tahun dan akhirnya kembali kehutan (tempat pembuangannya) dengan membawa seorang istri dan teman-temanya.
            Waktu terus berjalan dan akhirnya hutan yang selama ini ditempati oleh pemuda itu dirubah menjadi suatu perkampungan yang ramai sehingga banyak pemuda dari Desa Karang Panggang yang ikut bergabung kepada pemuda itu.ternyata dendam pemuda yang diusir dari Desa itu tidak pernah padam sehingga suatu saat dia memimpin penyerangan ke Desa Karang Panggang dan membakar semua rumah yang ada di Desa tersebut. Banyak warga yang mengungsi keluar dari Desa dan banyak pula Warga Desa Karang Panggang yang ikut menyatu dan bergabung pada pemuda itu. Sehingga saat itu desa Karang Panggang hancur menjadi debu dan sampai saat ini tak berbekas sebuah Desa Karen Asaat ini tempat desa tersebut dijadikan makam (Makam Kulon) dekat dengan lapangan sepak bola
            Dan waktu terus berjalan pemuda itu akhirnya wafat dan belum sempat memberikan nama pada Desa tersebut dan sekarang makamnya ditempatkan bersebelahan dengan istri tercintanya yang oleh warga desa saat ini disebut makam ”Mbah Langkir” ada disebelah timur Desa berbatasan dengan Desa Padengan Ploso.setelah wafatnya Mbah Langkir terjadilah perselisihan diantara tokoh-tokoh masyarakat untuk memilih pemimpin baru yang pada saat itu di zaman penjajahan belanda. Belanda hanya memfasilitasi dan tidak menunjuk pemimpin baru dan diantara tokoh-tokoh yang terkenal saat itu adalah Mbah Agung beliau terkenal sangat arif dan bijaksana dan sangat sidik paningal sehingga masyarakat pada saat itu memilih Mbah Agung menjadi Patinggi atau Petinggi dan sekaligus memberi nama Desa tersebut dengan “Desa Ngambek”.karena orang-orangnya mudah sekali tersinggung,marah,dan suka berkelahi. Dan sejak kejadian tersebut sampai sekarang nama Desa Ngambek tetap digunakan, tetapi tahun demi tahun tidak perkelahian atau masalah lagi seperti halnya sejarah Desa Ngambeg yang dulu. Dan seiring berjalannya dari waktu kewaktu rasa kerukunan dan gotong royong di Desa Ngambek semakin terikat.

SEJARAH DESA GEGER TURI


Kata geger yang mempunyai kata perkelahian, dimana zaman dahulu masyarakat desa geger sering menyelesaikan persoalan dengan cara perkelahian atau kekerasan demi sebuah kehormatan jati diri.
            Salah satu persoalan zaman dahulu adalah sengketa masalah rawa pertanian(sebelah utara desa geger), dimana rawa tersebut menjadi perebutan atau sengketa masyarakat sekitar. Secara letak geografis, rawa tersebut berada tak jauh dari wilayah desa pucangro kalitengah(letaknya disebelah timur desa pucangro)atau desa karangwedoro dan juga desa badurame. Tapi dengan cara gegeranuntuk menyelesaikan masalah tersebut, petinggi atau pada zaman sekarang disebut kepala desa. Petinggi geger yang paling kuat dan menang melawan masyarakat dan juga petinggi disekitar daerah rawa tersebut. Akhirnya, rawa tersebut masuk dalam wilayah geger meski letak rawa tersebut berada paling jauh dari perkampungan desa geger dibanding dengan ketiga desa tersebut.
            Berkaitan dengan letak yang berada diwilayah kabupaten lamongan suasana budaya masyarakat jawa sangat terasa didesa geger. Dalam hal kegiatan agama islam suasananya sangat dipengaruhi oleh aspek budaya dan soial jawa seperti adanya budaya nyadran, slametan, tahlilan, mitoni dan lainnya.yang semua itu merefresikan sisi akulturasi sisi budaya islam dan jawa. Masyarakat desa geger dalam rangka merespon tradisi lama ini telah mewabah dan menjamur kelembagaan sosial, politik, agama dan budaya yang tentunya menjadikan kearifan tersendiri.
            Dalam catatan sejarah, selama ini belum pernah terjadi bencana alam dan sosial yang cukup berarti didesa geger isu-isu terkait tema tersebut.