Dahulu ada 3
orang saudara yang berasal dari Sunan Giri. Mereka sedang lelono/lelakon atau
jalan-jalan. 3 orang saudara itu terdiri dari 2 laki-laki dan 1 orang
perempuan. Satu orang laki-laki pergi ke desa Legreng dan yang satunya pergi ke
desa Badu kecamatan Pucuk dan yang perempuan memilih untuk tinggal di desa
Meteseh, perempuan itu bernama Mbah Marsini. Saat beliau sampai di desa meteseh
ini beliau berkata “wes aku tak nang kene ae ben slamet nyiseh”, nah dari kejadian
itulah maka desa ini dinamakan meteseh. Meteseh sendiri berasal dari kata
“slamet” dan “nyiseh”. Slamet artinya selamat dan nyiseh artinya menepi.
Saat mbah
marsini datang ke desa ini belum ada satupun rumah-rumah warga, saat itu
kondisinya masih dalam keadaan seperti hutan/alas. Namun seiring berjalannya
waktu akhirnya satu persatu mulai ada rumah-rumah warga. Dulu desa ini hanya
terdiri dari 2 lurung atau gang, tetapi sekarang sudah bertambah menjadi 4 gang.
Konon pada zaman
dahulu mbah Tarko suami dari mbah Marsini membuat sumur yang berada di sebelah
utara desa. Sumur ini sangat besar sekali dan sumber mata airnya sangat segar
dan murni layaknya sumber mata air pegunungan. Apabila terjadi musim kemarau maka
warga desa banyak yang mengambil airnya dari sumur itu, tarmasuk juga warga
dari desa tetangga seperti desa Tanggul, desa Dagelan, dan desa Karanggeneng.
Sumur ini terletak di samping pohon-pohon besar yaitu pohon asam dan pohon
bulu. Oleh warga setempat sumur ini dipercayai dapat menyembuhkan penyakit
karena yang membuat sumur itu mbah Tarko yang masih keturunan dari Sunan Giri.
Usia sumur itu sampai saat ini sudah tua sekali, tapi bangunannya masih kuat
dan kokoh. Konon menurut masyarakat setempat sumur ini hanya boleh diuras atau
dibersihkan dalamnya oleh keturunan dari mbah Tarko, dan apabila yang
membersihkan itu warga biasa, maka sumur itu akan mengeluarkan bau yang tidak
enak.
Setiap satu tahun sekali masyarakat setempat selalu
mengadakan acara Sedekah Bumi atau nyadran sebagai ungkapan rasa syukur
masyarakat atas diperolehnya hasil-hasil pertanian yang baik. Biasanya acara
itu di lakukan dengan cara semua masyarakat berbondong-bondong membawa makanan
ke masjid setempat pada malam hari, kemudian makanan itu di di tukar dengan
milik orang-orang. Kemudian paginya biasanya ada hiburan Gong atau Tayuban.
Konon menurut sesepuh desa Gong merupakan suatu kesenian yang dapat
mengumpulkan semua warga dalam desa setempat.
Siap yang ngepost ya?
BalasHapusTulisan ini tentang sejarah, maka seharusnya ditulis sumbernya dari mana. Kalau nulis tentang sejarah jangan asal nulis dari sumber yang belum jelas atau kabar angin. Memang kabar burungnya seperti itu yang beredar tp tolong sumber informasinya harus di cantumkan dan sumber tersebut harus benar2 bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
BalasHapusIku yg nulis aku kak berdasarkan hasil tanya jawabku dg mbah mat (belakang sekolah) pas oleh tugas dr guru ku sma. Lah ternyata dipost iki
HapusHmmm
Hapus